Minggu, 26 Mei 2013

FENOMENA KECANDUAN SEKS DI INTERNET


FENOMENA KECANDUAN SEKS DI INTERNET

Anda suka browsing di Internet? Kalau 'ya', Anda mungkin pernah chatting atau ber-cyber-love atau mungkin ber-cyber-sex dengan 'lawan main'; Anda. Atau barangkali Anda suka membuka situs-situs 'triple X' yang begitu 'memukau' dan membuat kadar testosteron Anda naik ke ubun-ubun?

Kalau cuma sesekali, barangkali masih normal. Namun, kalau Anda sudah kecanduan dan susah melupakan kebiasaan itu, Anda mesti waspada. Akibatnya bisa fatal, perilaku berubah, kinerja belajar, hubungan suami-istri amburadul, rumah tangga bisa hancur bahkan bercerai. Lho?!

Psikolog Amerika, Kimberley Young menyatakan, banyak perkawinan yang berumur 15, 20, atau 25 tahun dapat berakhir hanya karena tiga atau empat bulan cyber-affair, perselingkuhan siber.

Kehidupan modern memang membuat jangkauan pergaulan meluas, sementara energi sosialisasi kita terbatas. Untungnya, teknologi komunikasi mampu memberi pijakan baru dalam relasi ini. Salah satu di antaranya adalah internet, sebuah penemuan terbesar dalam abad ini. Saking kuatnya pijakan itu, internet menjadi bagian tidak terpisahkan dari evolusi sosialisasi manusia.

Namun, setiap perkembangan selalu memunculkan wajah buruknya, di samping manfaatnya. Wajah buruk itu terwakili oleh perselingkuhan siber dan kecanduan seks di internet. Memang, internet tidak saja memberikan informasi ilmu pengetahuan, tapi juga materi-materi pornografis. Maka, kalau ada orang bilang, manusia adalah binatang seks, wajar saja jika kemudian muncul fenomena kecanduan seks di Internet.

Internet memang bak rimba perawan nan menantang. Survai yang dilakukan psikolog David Greenfield awal tahun ini menunjukkan, 6% dari 18.000 responden kecanduan berselancar di Intenet. Angka ini jika diproyeksikan ke jumlah penduduk Amerika, akan menemukan angka yang fantastis: jutaan orang menemukan 'obat' baru!

Dalam pertemuan tahunan Asosiasi Psikolog Amerika Greenfield mengatakan, kecanduan internet memiliki kesamaan gejala dengan kecanduan obat bius. Laporannya menemukan, mereka yang kecanduan Internet menyatakan 'hampir selalu' kehilangan jejak waktu.

Memang dalam penelitian itu terungkap, 83% keasyikan berselancar. Lebih tegas lagi, 58% di antaranya ingin menghabiskan lebih banyak lagi waktu berselancar.

Hasil penelitian Greenfield juga menemukan bahwa profil orang yang kecanduan adalah lelaki dengan rentang usia antara 25 dan 55. Rata-rata mereka berpendidikan tinggi dan berpenghasilan tinggi. Sebuah survai lain yang dilakukan tahun lalu juga menemukan angka yang klop: 86% dari peselancar lelaki di Amerika tertarik terhadap online sex. Delapan persen di antaranya bahkan menghabiskan waktu 11 jam seminggu hanya untuk melongok situs-situs porno.

Persoalan komunikasi memang bisa menjadi penyebab orang lari ke cybersex. Biasanya ini menyerang lelaki. Kaum adam memang memiliki kekurangan dalam komunikasi verbal untuk mengemukakan perasaan mereka.

Untuk membedah kekurangan, perlu ditarik ke belakang, yakni dalam proses sosialisasi. Di sini lelaki memperoleh perlakuan yang berbeda dalam persoalan mengungkapkan perasaan. Contoh, anak lelaki yang jatuh terus kesakitan. Lingkungan akan bilang, "Udah, kamu 'kan lelaki. Masak gitu saja kesakitan." Padahal, dalam soal perasaan lelaki dan wanita sama saja.

Perbedaan mencolok lainnya, lelaki terangsang oleh stimulus visual atau pengamatan, sedangkan perempuan oleh stimulus pendengaran. Perempuan lebih suka dirayu daripada diperlihatkan sosok lelaki telanjang.

Selain itu, persoalan fisik juga berpengaruh terhadap rangsangan seksual. Wanita, jika kecapaian, dorongan seksualnya menurun. Berbeda dengan lelaki yang meski lelah seharian bekerja dia masih memiliki dorongan seksual. Ibarat argometer atau mesin diesel, dorongan seksual lelaki jalan terus. Nah, untuk menyalurkan dorongan itulah, situs seks yang 'on' terus 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu mungkin bisa menjadi semacam 'solusi'. (konseling)

Sumber :

Selasa, 21 Mei 2013

Fenomena sosial yang berkaitan dengan psikologi sosial pemerkosaan pada anak dibawah umur


Fenomena sosial yang berkaitan dengan psikologi sosial pemerkosaan pada anak dibawah umur

Akhir-akhir ini publik digemparkan dengan berita kasus pemerkosaan anak di bawah umur. Salah satu yang cukup menggegerkan adalah kasus pemerkosaan terhadap seorang siswa kelas V SD (Sekolah Dasar) bernama Risa yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri. Pada kasus ini, tindak pemerkosaan justru diketahui belakangan, di mana saat Risa dirawat di rumah sakit mengalami demam tinggi dan kejang. Ketika dokter akan memberi obat kejang melalui (maaf) anusnya, baru diketahui bahwa alat kelaminnya mengalami infeksi. Saking parahnya infeksi yang diderita bocah berusia 11 tahun tersebut, mengakibatkannya meninggal dunia. Kasus pemerkosaan ini cukup menguras emosi publik. Banyak yang bersimpati dan turut prihatin atas peristiwa yang menimpa bocah tersebut. Tidak sedikit orang mengecam bahkan menghujat si pelaku yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri sebagai binatang biadab. Orang tua yang seharusnya memberikan perlindungan, tetapi justru memberikan penderitaan yang berakhir pada kematian.
Satu lagi yang tak kalah menggemparkan yakni kasus pemerkosaan terhadap seorang siswa kelas V SD yang terjadi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Menggegerkan dan memprihatinkan karena pelakunya tak lain adalah teman sekolahnya sendiri sebanyak 5 orang. Pelaku dan korban sama-sama masih bocah yang berusia sekitar 11 hingga 13 tahun, tentu saja masih tergolong sebagai anak di bawah umur. Bagaimana mungkin bocah yang ‘seharusnya’ masih polos bisa berkelakuan mesum seperti itu? Bagaimana bisa mereka memiliki pikiran cabul, bahkan merealisasikannya dengan memperkosa temannya sendiri? Apa yang menyebabkan hasrat seksual anak-anak tersebut muncul di usia yang terbilang sangat belia? Beberapa pertanyaan tersebut bisa saja muncul dalam benak setiap orang yang membaca berita kasus pemerkosaan ini di media massa atau melihatnya di televisi.
Masih banyak kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang terjadi. Namun, tentunya tidak akan dijabarkan semuanya di sini. Dua kasus yang disebut di atas hanya merupakan contoh bahwa kekerasan seksual terhadap anak dapat dikatakan sudah masuk dalam taraf mengkhawatirkan. Maraknya kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur seolah telah menjadi sebuah fenomena bahkan ‘tren’. Kasus demi kasus mulai terkuak ke publik, entah pelaku atau korbannya adalah anak di bawah umur. Sungguh miris dan memilukan. Sebenarnya, apa yang menjadi penyebab maraknya kasus pemerkosaan terhadap anak? Siapa yang patut disalahkan atas tindak kriminal yang merusak masa depan anak korban pemerkosaan?
Peredaran film porno tanpa batas
Film porno yang beredar bebas tanpa batas disinyalir menjadi penyebab utama atas maraknya tindak pemerkosaan terhadap anak, termasuk pula pelakunya yang masih terbilang belia. Tidak dapat dipungkiri bahwa era globalisasi berdampak pada kebebasan akses teknologi dan informasi, salah satunya melalui jagat maya alias internet yang memang tanpa batas. Siapapun bisa mengakses beragam informasi yang dibutuhkan dan diinginkan melalui internet tanpa mengenal batas usia, termasuk anak-anak. Oleh sebab itu, anak menjadi lebih mudah mengakses konten-konten yang tidak seharusnya mereka konsumsi, terutama konten porno baik gambar maupun video.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa perkembangan teknologi semakin pesat. Banyak gadget dijual di pasaran dengan fitur lengkap, tetapi harga terjangkau. Lihat saja perkembangan teknologi ponsel (telepon seluler). Dari yang awalnya hanya memiliki fungsi komunikasi, kini telah dilengkapi dengan fungsi multimedia. Artinya, sebuah ponsel saat ini tidak hanya dapat digunakan untuk telepon dan mengirim SMS (Short Message Service) saja, tetapi juga bisa digunakan untuk memainkan musik atau lagu dalam format MP3, mengambil gambar atau memotret, merekam dan memainkan video, serta masih banyak lagi fungsi lainnya. Dulu, ponsel dengan fitur lengkap dibandrol dengan harga yang cukup mahal, apalagi yang berjenis smartphone. Namun sekarang, harga ponsel termasuksmartphone bak kacang rebus, murah sehingga dapat dijangkau oleh semua kalangan. Ibaratnya dengan uang kurang dari Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) sudah bisa mendapatkan sebuah ponsel dengan model terbaru dan pastinya memiliki fitur lengkap, setidaknya bisa untuk komunikasi dan hiburan multimedia.
Lantas, apa kaitannya ponsel dengan kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang kerap terjadi akhir-akhir ini? Keberadaan fitur multimedia di dalam ponsel memudahkan penyebaran konten-konten tidak senonoh terutama video porno. Sebagai barang yang bersifat personal, tentu keberadaan video porno di dalam ponsel dapat dinikmati kapan saja dan di mana saja, tanpa sepengetahuan orang lain. Celakanya, ponsel tidak hanya dipergunakan oleh orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak. Jadi, tidak tertutup kemungkinan anak juga bisa menikmati video porno di ponselnya dengan mudah. Melihat video porno dalam intensitas yang sering, bisa membangkitkan libido tidak hanya pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Jika tidak ada pasangan yang sah untuk menyalurkan gairah seksual tersebut, akibatnya terjadilah pemerkosaan. Dalam konteks anak, mungkin gairah seksual yang muncul tidak setinggi orang dewasa, tetapi bisa jadi dipicu oleh rasa penasaran dan keinginan untuk mencoba, sehingga terjadilah tindak pemerkosaan oleh anak.
Dari mana anak memperoleh konten-konten yang mengandung unsur asusila termasuk video porno yang dapat merusak moralnya? Internet dan lingkungan pergaulan merupakan dua faktor yang patut diduga kuat sebagai sumber perolehan video porno. Melalui media ponsel, video porno dapat dengan mudah diakses dan dinikmati oleh anak-anak. Erotisme dan ekspresi yang disuguhkan dalam video porno tersebut merangsang libido anak, sehingga menimbulkan dorongan yang kuat untuk mencoba mempraktikkannya.
Diakui atau tidak, orang tua sebenarnya memiliki andil dalam peredaran film porno yang ditonton oleh anak. Hal ini memang tidak bisa digeneralisir, namun ada beberapa pasangan yang gemar menonton film porno untuk merangsang gairah seksualnya. Keberadaan film porno baik dalam format VCD ataupun DVD di dalam rumah kadang tidak disimpan di tempat tersembunyi, sehingga mudah dijangkau oleh anak.  Secara tidak sengaja, anak bisa menemukan dan menontonnya tentu tanpa sepengetahuan orang tua. Nah, di sinilah kelalaian orang tua. Saat orang tua sibuk di luar rumah, anak bisa dengan bebas melakukan apapun, termasuk menonton film porno.
Untuk mencegah peredaran konten porno lebih luas dan menghindari anak di bawah umur mengakses konten tersebut, sebenarnya pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah memblokir situs-situs porno yang beredar di dunia maya. Selain itu, Kemenkominfo juga menyediakan softwarekhusus yang diperuntukkan bagi para penyedia jasa warnet (warung internet) untuk memblokir konten-konten porno, sehingga tidak bisa lagi diakses dengan mudah. Namun, agaknya upaya pemerintah untuk menghalau penyebaran konten-konten yang berbau pornografi tersebut pada kenyataannya belum menunjukkan hasil maksimal. Buktinya, banyak masyarakat yang masih bisa dengan mudah memperoleh video-video porno baik melalui internet, VCD, DVD, ataupun ponsel.
Tinjauan psikologis
Maraknya kasus pemerkosaan dengan korban anak di bawah umur memang sungguh memilukan. Tindakan tersebut tidak hanya merusak masa depan korban, tetapi juga berpotensi mengganggu kejiwaan korban dan kehidupan sosialnya. Korban yang merasa dirinya telah ternoda mungkin tidak berani berbaur dengan lingkungan sosialnya, karena malu. Selain itu, gunjingan masyarakat sekitar bisa saja mengakibatkan korban semakin terpuruk. Jika hal ini berlangsung terus-menerus tanpa ada dukungan yang memicu keberanian korban untuk tampil kembali di depan publik, tidak tertutup kemungkinan korban justru akan mengalami gangguan kejiwaan sehingga mengakibatkannya depresi. Apa akibatnya lebih lanjut? Korban akan mengambil jalan pintas untuk mengakhiri penderitaannya, yakni dengan bunuh diri.
Dari sudut pandang psikologis, pemerkosaan terhadap anak di bawah umur umumnya dilakukan oleh orang terdekat, bisa keluarga baik itu ayah, paman, kakak, ataupun teman-temannya. Pelaku diduga mengalami depresi dengan kehidupannya sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan pelaku mengalami penyimpangan sosial sehingga melampiaskannya kepada orang-orang terdekat. Oleh sebab itu, banyak ditemukan kasus-kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh kakak, paman, bahkan ayah kandung sendiri.
Keretakan hubungan rumah tangga yang memicu terjadinya perceraian juga ambil bagian dalam maraknya kasus pemerkosaan terhadap anak. Mengapa? Perceraian memunculkan ayah tiri yang notabene pengganti peran ayah kandung, tetapi justru menjadi perusak masa depan anak. Hal ini memang tidak bisa dipukul rata, dalam arti tidak semua ayah tiri identik dengan pelaku pemerkosaan. Namun, kebanyakan kasus pemerkosaan terhadap anak dilakukan oleh ayah tiri. Alasan yang dikemukakan beragam, ada yang tidak puas dengan ‘sang ibu’, ibu yang terlalu sibuk bekerja sehingga tidak bisa melayani ‘sang ayah’, khilaf, dan fedofilia. Fedofilia dapat dipahami sebagai suatu gangguan psikoseksual di mana orang dewasa menyukai anak-anak secara seksual. Dengan kata lain, orang dewasa mengalami kepuasan seksual bersama dengan anak di bawah umur.  
Patuh kepada orang tua memang merupakan kewajiban seorang anak. Namun, kepatuhan ini sering kali dimanfaatkan orang tua untuk mengintimidasi anak. Artinya, dengan dalih kepatuhan seolah orang tua memiliki hak sepenuhnya terhadap anak, termasuk dalam hal seksual. Anak yang masih polos dipaksa melayani dan memuaskan hawa nafsu ‘sang ayah’ karena didogma bahwa anak harus patuh pada orang tua. Dogma kepatuhan yang ditelan secara bulat-bulat oleh anak inilah yang menjadikannya tidak berani untuk mengadu atau bahkan sekadar bercerita kepada ibunya. Selain dogma kepatuhan yang sesat, anak juga tidak jarang diancam atau diiming-imingi sesuatu agar tetap tutup mulut. Di sini ada pertentangan antara kepatuhan dengan ketakutan yang dirasakan oleh anak. Jika anak buka mulut atas tindak pemerkosaan yang dialaminya, maka ia takut dianggap sebagai anak yang tidak patuh kepada orang tuanya. Di sisi lain, apabila anak terus menuruti kehendak bejat ‘sang ayah’, ia akan merasa tertekan dan mengalami ketidaknyamanan yang luar biasa. Semua itu akan bermuara pada gangguan perkembangan anak secara psikologis.
Peran orang tua dan masyarakat
Setiap orang tua pasti tidak menginginkan anaknya menjadi korban pemerkosaan baik oleh orang terdekat, teman, ataupun orang lain. Jika memang demikian, orang tua harus berperan dalam mendampingi dan memantau anak, tidak hanya perilaku tetapi juga lingkungan pergaulannya. Orang tua dituntut untuk senantiasa sadar atas setiap perubahan perilaku sang anak. Sebagai contoh, anak yang terbiasa riang dan senantiasa menikmati saat-saat berkumpul dengan keluarga, tiba-tiba berubah pendiam dan senang menyendiri. Di sini orang tua perlu menyelidiki penyebab perubahan sikap anak tersebut. Dikhawatirkan perubahan tersebut dipicu oleh tekanan lingkungan pergaulan atau justru keasyikan menonton video porno melalui ponselnya, sehingga ia mencuri-curi waktu untuk bisa menyendiri.
Tak dapat dipungkiri bahwa ponsel memiliki fungsi yang penting. Berkenaan dengan hal tersebut, saat ini banyak orang tua yang memberikan fasilitas ponsel kepada anaknya. Tujuan sederhana yakni untuk memudahkan komunikasi antara orang tua dengan anak, di mana orang tua bisa memantau keberadaan anak kapan saja. Sayangnya, pemberian fasilitas ponsel tersebut kurang didukung dengan pengawasan yang ketat. Artinya, orang tua jarang atau bahkan tidak pernah mengecek konten yang tersimpan dalam memori ponsel anaknya. Orang tua terlalu percaya pada kepolosan anak, sehingga tidak berpikir bahwa anak bisa menyimpan konten-konten porno karena pengaruh lingkungan pergaulannya.
Kesibukan orang tua bekerja disinyalir juga menyebabkan kurangnya perhatian kepada anak. Banyak orang tua berpikir bahwa selama anak merasa senang, maka semua dalam keadaan baik-baik saja. Kurangnya perhatian orang tua mendorong anak untuk mencari perhatian dari luar keluarga. Hal ini justru membahayakan, karena bisa saja anak terjerumus dalam lingkungan pergaulan yang tidak baik. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sesibuk apapun orang tua sebaiknya tetap meluangkan waktu guna memperhatikan anak. Selain mempererat hubungan keluarga, perhatian orang tua kepada anak juga dapat meminimalisir munculnya pengaruh-pengaruh buruk dari lingkungan luar.
Berkenaan dengan pemberian fasilitas ponsel atau gadget lainnya seperti PC tablet,netbook, atau notebook kepada anak sebenarnya sah-sah saja, asal tetap dalam pantauan orang tua. Orang tua juga harus lebih bijaksana dalam memberikan fasilitas kepada anak. Sebatas fasilitas tersebut bermanfaat untuk menunjang proses belajarnya, silakan saja, namun lagi-lagi penggunaannya harus tetap dalam pengawasan orang tua. Untuk mengantisipasi peredaran video porno dalam ponsel anak, orang tua bisa memberikan fasilitas ponsel dengan fitur terbatas, tanpa dilengkapi dengan multimedia dan jaringan internet. Meskipun demikian, anak tetap diperkenankan untuk mengakses layanan multimedia dan internet, tetapi melalui media lain yang tersedia di rumah, sehingga orang tua bisa mengawasi penggunaannya. Jadi, pemberian fasilitas secara bijak kepada anak bisa meminimalisir bahkan menghindari kemungkinan terjadinya tindak pemerkosaan pada dan oleh anak.
Lantas, apa peran masyarakat dalam mencegah tindak pemerkosaan terhadap anak di bawah umur? Kasus pemerkosaan terhadap anak yang bagai fenomena gunung es ini mencerminkan lemahnya kontrol sosial masyarakat. Jiwa kebersamaan dan gotong royong dalam masyarakat Indonesia yang dulu dielu-elukan seolah sirna, berubah menjadi masyarakat yang individualis. Masyarakat cenderung tidak lagi mempedulikan lingkungan sekitar. Semua asyik dengan urusan dan kepentingannya sendiri. Jika terjadi suatu penyimpangan di lingkungan sekitarnya, masyarakat justru tutup mata seolah tidak melihat dan bisu karena tidak mau menegur pelaku penyimpangan tersebut. Contohnya, orang tua yang ‘menyekap’ anaknya dan melarangnya bermain dan bersosialisasi dengan tetangga sebenarnya sudah mengarah pada bentuk penyimpangan perilaku sosial. Atas penyimpangan ini, masyarakat sekitar tidak mau menegur, karena merasa hal itu bukan merupakan urusannya. Dengan lemahnya kontrol sosial ini menjadikan masyarakat tidak bisa mencegah terjadinya tindak penyimpangan lainnya, seperti pemerkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga.
Sumber :