Fenomena
sosial yang berkaitan dengan psikologi sosial pemerkosaan pada anak dibawah
umur
Akhir-akhir ini publik
digemparkan dengan berita kasus pemerkosaan anak di bawah umur. Salah satu yang
cukup menggegerkan adalah kasus pemerkosaan terhadap seorang siswa kelas V SD
(Sekolah Dasar) bernama Risa yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri. Pada
kasus ini, tindak pemerkosaan justru diketahui belakangan, di mana saat Risa
dirawat di rumah sakit mengalami demam tinggi dan kejang. Ketika dokter akan
memberi obat kejang melalui (maaf) anusnya, baru diketahui bahwa alat
kelaminnya mengalami infeksi. Saking parahnya infeksi yang diderita bocah
berusia 11 tahun tersebut, mengakibatkannya meninggal dunia. Kasus pemerkosaan
ini cukup menguras emosi publik. Banyak yang bersimpati dan turut prihatin atas
peristiwa yang menimpa bocah tersebut. Tidak sedikit orang mengecam bahkan
menghujat si pelaku yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri sebagai
binatang biadab. Orang tua yang seharusnya memberikan perlindungan, tetapi
justru memberikan penderitaan yang berakhir pada kematian.
Satu lagi yang tak kalah menggemparkan
yakni kasus pemerkosaan terhadap seorang siswa kelas V SD yang terjadi di
Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Menggegerkan dan memprihatinkan karena pelakunya
tak lain adalah teman sekolahnya sendiri sebanyak 5 orang. Pelaku dan korban
sama-sama masih bocah yang berusia sekitar 11 hingga 13 tahun, tentu saja masih
tergolong sebagai anak di bawah umur. Bagaimana mungkin bocah yang ‘seharusnya’
masih polos bisa berkelakuan mesum seperti itu? Bagaimana bisa mereka memiliki
pikiran cabul, bahkan merealisasikannya dengan memperkosa temannya sendiri? Apa
yang menyebabkan hasrat seksual anak-anak tersebut muncul di usia yang
terbilang sangat belia? Beberapa pertanyaan tersebut bisa saja muncul dalam
benak setiap orang yang membaca berita kasus pemerkosaan ini di media massa
atau melihatnya di televisi.
Masih banyak kasus pemerkosaan terhadap
anak di bawah umur yang terjadi. Namun, tentunya tidak akan dijabarkan semuanya
di sini. Dua kasus yang disebut di atas hanya merupakan contoh bahwa kekerasan
seksual terhadap anak dapat dikatakan sudah masuk dalam taraf mengkhawatirkan.
Maraknya kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur seolah telah menjadi
sebuah fenomena bahkan ‘tren’. Kasus demi kasus mulai terkuak ke publik, entah
pelaku atau korbannya adalah anak di bawah umur. Sungguh miris dan memilukan.
Sebenarnya, apa yang menjadi penyebab maraknya kasus pemerkosaan terhadap anak?
Siapa yang patut disalahkan atas tindak kriminal yang merusak masa depan anak
korban pemerkosaan?
Peredaran film porno
tanpa batas
Film porno yang beredar bebas
tanpa batas disinyalir menjadi penyebab utama atas maraknya tindak pemerkosaan
terhadap anak, termasuk pula pelakunya yang masih terbilang belia. Tidak dapat
dipungkiri bahwa era globalisasi berdampak pada kebebasan akses teknologi dan
informasi, salah satunya melalui jagat maya alias internet yang memang tanpa
batas. Siapapun bisa mengakses beragam informasi yang dibutuhkan dan diinginkan
melalui internet tanpa mengenal batas usia, termasuk anak-anak. Oleh sebab itu,
anak menjadi lebih mudah mengakses konten-konten yang tidak seharusnya mereka
konsumsi, terutama konten porno baik gambar maupun video.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa
perkembangan teknologi semakin pesat. Banyak gadget dijual di pasaran dengan fitur lengkap,
tetapi harga terjangkau. Lihat saja perkembangan teknologi ponsel (telepon
seluler). Dari yang awalnya hanya memiliki fungsi komunikasi, kini telah
dilengkapi dengan fungsi multimedia. Artinya, sebuah ponsel saat ini tidak
hanya dapat digunakan untuk telepon dan mengirim SMS (Short Message Service) saja, tetapi juga bisa digunakan
untuk memainkan musik atau lagu dalam format MP3, mengambil gambar atau
memotret, merekam dan memainkan video, serta masih banyak lagi fungsi lainnya.
Dulu, ponsel dengan fitur lengkap dibandrol dengan harga yang cukup mahal,
apalagi yang berjenis smartphone. Namun sekarang, harga ponsel termasuksmartphone bak kacang rebus, murah sehingga
dapat dijangkau oleh semua kalangan. Ibaratnya dengan uang kurang dari Rp
500.000,- (lima ratus ribu rupiah) sudah bisa mendapatkan sebuah ponsel dengan
model terbaru dan pastinya memiliki fitur lengkap, setidaknya bisa untuk
komunikasi dan hiburan multimedia.
Lantas, apa kaitannya ponsel dengan kasus
pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang kerap terjadi akhir-akhir ini?
Keberadaan fitur multimedia di dalam ponsel memudahkan penyebaran konten-konten
tidak senonoh terutama video porno. Sebagai barang yang bersifat personal,
tentu keberadaan video porno di dalam ponsel dapat dinikmati kapan saja dan di
mana saja, tanpa sepengetahuan orang lain. Celakanya, ponsel tidak hanya
dipergunakan oleh orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak. Jadi, tidak
tertutup kemungkinan anak juga bisa menikmati video porno di ponselnya dengan
mudah. Melihat video porno dalam intensitas yang sering, bisa membangkitkan
libido tidak hanya pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Jika tidak ada
pasangan yang sah untuk menyalurkan gairah seksual tersebut, akibatnya
terjadilah pemerkosaan. Dalam konteks anak, mungkin gairah seksual yang muncul
tidak setinggi orang dewasa, tetapi bisa jadi dipicu oleh rasa penasaran dan
keinginan untuk mencoba, sehingga terjadilah tindak pemerkosaan oleh anak.
Dari mana anak memperoleh konten-konten
yang mengandung unsur asusila termasuk video porno yang dapat merusak moralnya?
Internet dan lingkungan pergaulan merupakan dua faktor yang patut diduga kuat
sebagai sumber perolehan video porno. Melalui media ponsel, video porno dapat
dengan mudah diakses dan dinikmati oleh anak-anak. Erotisme dan ekspresi yang
disuguhkan dalam video porno tersebut merangsang libido anak, sehingga
menimbulkan dorongan yang kuat untuk mencoba mempraktikkannya.
Diakui atau tidak, orang tua sebenarnya
memiliki andil dalam peredaran film porno yang ditonton oleh anak. Hal ini
memang tidak bisa digeneralisir, namun ada beberapa pasangan yang gemar
menonton film porno untuk merangsang gairah seksualnya. Keberadaan film porno
baik dalam format VCD ataupun DVD di dalam rumah kadang tidak disimpan di
tempat tersembunyi, sehingga mudah dijangkau oleh anak. Secara tidak
sengaja, anak bisa menemukan dan menontonnya tentu tanpa sepengetahuan orang
tua. Nah, di sinilah kelalaian orang tua. Saat orang tua sibuk di luar rumah,
anak bisa dengan bebas melakukan apapun, termasuk menonton film porno.
Untuk mencegah peredaran konten porno
lebih luas dan menghindari anak di bawah umur mengakses konten tersebut,
sebenarnya pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo) telah memblokir situs-situs porno yang beredar di dunia maya.
Selain itu, Kemenkominfo juga menyediakan softwarekhusus yang diperuntukkan bagi para
penyedia jasa warnet (warung internet) untuk memblokir konten-konten porno,
sehingga tidak bisa lagi diakses dengan mudah. Namun, agaknya upaya pemerintah
untuk menghalau penyebaran konten-konten yang berbau pornografi tersebut pada
kenyataannya belum menunjukkan hasil maksimal. Buktinya, banyak masyarakat yang
masih bisa dengan mudah memperoleh video-video porno baik melalui internet,
VCD, DVD, ataupun ponsel.
Tinjauan psikologis
Maraknya kasus pemerkosaan dengan
korban anak di bawah umur memang sungguh memilukan. Tindakan tersebut tidak
hanya merusak masa depan korban, tetapi juga berpotensi mengganggu kejiwaan
korban dan kehidupan sosialnya. Korban yang merasa dirinya telah ternoda
mungkin tidak berani berbaur dengan lingkungan sosialnya, karena malu. Selain
itu, gunjingan masyarakat sekitar bisa saja mengakibatkan korban semakin
terpuruk. Jika hal ini berlangsung terus-menerus tanpa ada dukungan yang memicu
keberanian korban untuk tampil kembali di depan publik, tidak tertutup
kemungkinan korban justru akan mengalami gangguan kejiwaan sehingga
mengakibatkannya depresi. Apa akibatnya lebih lanjut? Korban akan mengambil
jalan pintas untuk mengakhiri penderitaannya, yakni dengan bunuh diri.
Dari sudut pandang psikologis, pemerkosaan
terhadap anak di bawah umur umumnya dilakukan oleh orang terdekat, bisa
keluarga baik itu ayah, paman, kakak, ataupun teman-temannya. Pelaku diduga
mengalami depresi dengan kehidupannya sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan
pelaku mengalami penyimpangan sosial sehingga melampiaskannya kepada
orang-orang terdekat. Oleh sebab itu, banyak ditemukan kasus-kasus pemerkosaan
yang dilakukan oleh kakak, paman, bahkan ayah kandung sendiri.
Keretakan hubungan rumah tangga yang
memicu terjadinya perceraian juga ambil bagian dalam maraknya kasus pemerkosaan
terhadap anak. Mengapa? Perceraian memunculkan ayah tiri yang notabene
pengganti peran ayah kandung, tetapi justru menjadi perusak masa depan anak.
Hal ini memang tidak bisa dipukul rata, dalam arti tidak semua ayah tiri
identik dengan pelaku pemerkosaan. Namun, kebanyakan kasus pemerkosaan terhadap
anak dilakukan oleh ayah tiri. Alasan yang dikemukakan beragam, ada yang tidak
puas dengan ‘sang ibu’, ibu yang terlalu sibuk bekerja sehingga tidak bisa
melayani ‘sang ayah’, khilaf, dan fedofilia. Fedofilia dapat dipahami sebagai
suatu gangguan psikoseksual di mana orang dewasa menyukai anak-anak secara
seksual. Dengan kata lain, orang dewasa mengalami kepuasan seksual bersama
dengan anak di bawah umur.
Patuh kepada orang tua memang merupakan
kewajiban seorang anak. Namun, kepatuhan ini sering kali dimanfaatkan orang tua
untuk mengintimidasi anak. Artinya, dengan dalih kepatuhan seolah orang tua
memiliki hak sepenuhnya terhadap anak, termasuk dalam hal seksual. Anak yang
masih polos dipaksa melayani dan memuaskan hawa nafsu ‘sang ayah’ karena
didogma bahwa anak harus patuh pada orang tua. Dogma kepatuhan yang ditelan
secara bulat-bulat oleh anak inilah yang menjadikannya tidak berani untuk
mengadu atau bahkan sekadar bercerita kepada ibunya. Selain dogma kepatuhan
yang sesat, anak juga tidak jarang diancam atau diiming-imingi sesuatu agar
tetap tutup mulut. Di sini ada pertentangan antara kepatuhan dengan ketakutan
yang dirasakan oleh anak. Jika anak buka mulut atas tindak pemerkosaan yang
dialaminya, maka ia takut dianggap sebagai anak yang tidak patuh kepada orang
tuanya. Di sisi lain, apabila anak terus menuruti kehendak bejat ‘sang ayah’, ia
akan merasa tertekan dan mengalami ketidaknyamanan yang luar biasa. Semua itu
akan bermuara pada gangguan perkembangan anak secara psikologis.
Peran orang tua dan
masyarakat
Setiap orang tua pasti tidak
menginginkan anaknya menjadi korban pemerkosaan baik oleh orang terdekat,
teman, ataupun orang lain. Jika memang demikian, orang tua harus berperan dalam
mendampingi dan memantau anak, tidak hanya perilaku tetapi juga lingkungan
pergaulannya. Orang tua dituntut untuk senantiasa sadar atas setiap perubahan
perilaku sang anak. Sebagai contoh, anak yang terbiasa riang dan senantiasa
menikmati saat-saat berkumpul dengan keluarga, tiba-tiba berubah pendiam dan
senang menyendiri. Di sini orang tua perlu menyelidiki penyebab perubahan sikap
anak tersebut. Dikhawatirkan perubahan tersebut dipicu oleh tekanan lingkungan
pergaulan atau justru keasyikan menonton video porno melalui ponselnya,
sehingga ia mencuri-curi waktu untuk bisa menyendiri.
Tak dapat dipungkiri bahwa ponsel memiliki
fungsi yang penting. Berkenaan dengan hal tersebut, saat ini banyak orang tua
yang memberikan fasilitas ponsel kepada anaknya. Tujuan sederhana yakni untuk
memudahkan komunikasi antara orang tua dengan anak, di mana orang tua bisa
memantau keberadaan anak kapan saja. Sayangnya, pemberian fasilitas ponsel
tersebut kurang didukung dengan pengawasan yang ketat. Artinya, orang tua
jarang atau bahkan tidak pernah mengecek konten yang tersimpan dalam memori
ponsel anaknya. Orang tua terlalu percaya pada kepolosan anak, sehingga tidak
berpikir bahwa anak bisa menyimpan konten-konten porno karena pengaruh
lingkungan pergaulannya.
Kesibukan orang tua bekerja disinyalir
juga menyebabkan kurangnya perhatian kepada anak. Banyak orang tua berpikir
bahwa selama anak merasa senang, maka semua dalam keadaan baik-baik saja.
Kurangnya perhatian orang tua mendorong anak untuk mencari perhatian dari luar
keluarga. Hal ini justru membahayakan, karena bisa saja anak terjerumus dalam
lingkungan pergaulan yang tidak baik. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sesibuk
apapun orang tua sebaiknya tetap meluangkan waktu guna memperhatikan anak.
Selain mempererat hubungan keluarga, perhatian orang tua kepada anak juga dapat
meminimalisir munculnya pengaruh-pengaruh buruk dari lingkungan luar.
Berkenaan dengan pemberian fasilitas
ponsel atau gadget lainnya seperti PC tablet,netbook, atau notebook kepada anak sebenarnya sah-sah saja,
asal tetap dalam pantauan orang tua. Orang tua juga harus lebih bijaksana dalam
memberikan fasilitas kepada anak. Sebatas fasilitas tersebut bermanfaat untuk
menunjang proses belajarnya, silakan saja, namun lagi-lagi penggunaannya harus
tetap dalam pengawasan orang tua. Untuk mengantisipasi peredaran video porno
dalam ponsel anak, orang tua bisa memberikan fasilitas ponsel dengan fitur terbatas,
tanpa dilengkapi dengan multimedia dan jaringan internet. Meskipun demikian,
anak tetap diperkenankan untuk mengakses layanan multimedia dan internet,
tetapi melalui media lain yang tersedia di rumah, sehingga orang tua bisa
mengawasi penggunaannya. Jadi, pemberian fasilitas secara bijak kepada anak
bisa meminimalisir bahkan menghindari kemungkinan terjadinya tindak pemerkosaan
pada dan oleh anak.
Lantas, apa peran masyarakat dalam
mencegah tindak pemerkosaan terhadap anak di bawah umur? Kasus pemerkosaan
terhadap anak yang bagai fenomena gunung es ini mencerminkan lemahnya kontrol
sosial masyarakat. Jiwa kebersamaan dan gotong royong dalam masyarakat
Indonesia yang dulu dielu-elukan seolah sirna, berubah menjadi masyarakat yang
individualis. Masyarakat cenderung tidak lagi mempedulikan lingkungan sekitar.
Semua asyik dengan urusan dan kepentingannya sendiri. Jika terjadi suatu
penyimpangan di lingkungan sekitarnya, masyarakat justru tutup mata seolah
tidak melihat dan bisu karena tidak mau menegur pelaku penyimpangan tersebut.
Contohnya, orang tua yang ‘menyekap’ anaknya dan melarangnya bermain dan
bersosialisasi dengan tetangga sebenarnya sudah mengarah pada bentuk
penyimpangan perilaku sosial. Atas penyimpangan ini, masyarakat sekitar tidak
mau menegur, karena merasa hal itu bukan merupakan urusannya. Dengan lemahnya
kontrol sosial ini menjadikan masyarakat tidak bisa mencegah terjadinya tindak
penyimpangan lainnya, seperti pemerkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar